Alhamdullillah masih bisa merayakan Idul Adha di tahun ini. Ini merupakan lebaran Idul Adha pertama kami di negeri jiran. Sebelumnya kami selalu merayakannya di Bogor, ikut shalat Id di mesjid azikra bersama ayahanda ust.arifin ilham, melihat prosesi pemotongan hewan kurban di belakang mesjid, jajan di sepanjang perumahan, mengabadikannya dalam beberapa jepretan foto, lalu memasak daging kurban menjadi rendang atau sate.
Lebaran Idul Adha tahun ini kami belum tau akan mengisinya seperti apa. Beberapa teman Indonesia sebenarnya sudah ada rencana agenda silaturahim bersama ke salah satu rumah senior. Tapi lagi-lagi semua rencana tergantung keadaan hari H, apakah covid sudah di tahap aman atau belum.
Karena qadarullah sudah seminggu terakhir case covid menunjukkan tren naik, dari yang perharinya cuma bertambah 2-9 orang, sekarang jadi bertambah 20-an orang lagi. Semoga kerajaan dan rakyat Malaysia bisa melewati ini semua dengan baik, agar tak perlu ada kebijakan lockdown lagi setelah ini.
Pict by Kementerian Kesihatan Malaysia
Hei, berbicara tentang Idul Adha apa yang langsung terbesit di fikiranmu?
Potong hewan? Shalat id? Sate? Jatah daging?
Yap, itu semua memang bagian dari Idul Adha. Tapi ada esensi lain dari lebaran ini yang selalu meniadi renungan bagi keluarga kami setiap kali merayakan Idul Adha.
Apa itu?
Yaitu tentang parenting keluarganya nabi Ibrahim yang berlandaskan cinta kepada Allah.
Tentang betapa jelasnya keluarga nabi Ibrahim meletakkan posisi cinta kepada sang pencipta di antara cinta kepada sesama anggota keluarganya. Bahasa cinta yang takkan bisa dicerna oleh akal dan nalar manusia. Karena cinta kepada Allah memang tidak harus selalu di logikakan, sebab apa?. Sebab nalar kita tidak akan mampu menafsirkannya menjadi sebuah teori atau alasan klasik dalam pembuktian cinta kepada sang pencipta ini.
Makna Idul Adha ini bagi kami adalah tentang keteladan yang dicontohkan oleh keluarga Nabi Ibrahim.
Tentang kesholehan seorang ayah yang sangat percaya bahwa segala ketentuan Allah adalah yang terbaik. Tentang ketegasan sosok kepemimpinannya dalam keluarga, hingga keputusannya untuk taat pada sang pencipta dapat merangkul dengan lembut istri dan anaknya saat itu. Tentang ia yang rela mengorbankan buah hatinya demi patuh pada aturan tuhannya.
Bukankah itu derajat cinta yang palinh tinggi? Ketika cinta kita kepada Allah bisa mendapatkan posisi pertama dibandingkan cinta kepada makhluk.
Walau sebagai sesama orang tua, kita paham betul bagaimana besarnya rasa cinta dan kasih kita kepada buah hati. Bahkan kita rela mengorbankan nyawa agar buah hati kita selamat dan hidup dalam keadaan baik.
Tapi saat itu mimpi Ibrahim jelas bahwa ia diperintahkan untuk menyembelih anaknya, Ismail QS. As-Saffat ayat 102 :
"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu......
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ
Sikap nabi Ibrahim saat itupun menggambarkan bagaimana gaya pola asuhnya yang sangat bagus untuk diteladani. Bagaimana ia tidak bersikap orotiter walau seorang kepala kelurga.
Bagaimana ia menghargai anggota keluarganya terutama anak. Saat itu sebenarnya bisa saja ia memerintahkan langsung ismail untuk mau disembelih. Tapi sikap nabi Ibrahim saat itu justru sebaliknya. Alih-alih menuntut anaknya untuk patuh pada perintahnya, ia justru bertanya pendapat anaknya tentang hal tersebut, QS. As-Saffat ayat 102 :
"Maka fikirkanlah apa pendapatmu....
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ
Makna Idul adha bagi keluarga kami juga tentang meneladani sikap nabi ismail sebagai seorang anak. Bagaimana ia patuh kepada ayahnya, walau itu berarti ia harus mengorbankan nyawanya. Cinta kepada tuhannya sempurna mengalahkan cinta kepada dirinya sendiri.
Pict by Freepik
Patuh yang dicontohkan oleh nabi ismail saat itu bukanlah buah dari ketakutannya pada sang ayah. Akan tetapi buah dari taatnya ia pada tuhannnya. Ia tau bahwa yang hendak dilakukan ayahnya itu adalah perintah dari tuhannya, maka tanpa perlu banyak pertimbangan lagi ia langsung mengiayakan, karena nabi ismail sudah yakin bahwa apapun yang Allah kehendaki pasti adalah yang terbaik untuknya.
Mengajarkan kita untuk tidak banyak menuntut dengan harus adanya alasan logis atau rasional dari perintah Allah. Mencontohkan kepada kita bahwa kebaikan Allah tidak bisa dianalisis dengan matematika manusia. Bahwa apapun itu, tugas kita adalah tunduk dan patuh. Masyaallah, tingkatan taat yang sudah ada pada nabi ismail sejak ia masih menjadi seorang anak.
Bahkan Nabi ismail menjawab pertanyaan ayahnya saat itu dengan sangat yakin tanpa ada keraguan, QS As-Saffat ayat 102 :
"Wahai ayahkuu, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar..."
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ
Idul adha juga mengajarkan kami tentang ketaatan seorang istri kepada perintah suami dan tuhannya, serta betapa besarnya peran seorang Ibu dalam mendidik karakter anaknya.
Siti Hajar mengajarkan kita bahwa akidah dan tauhid seorang anak itu dibentuk oleh orang tua. Bagaimana nabi ismail tumbuh menjadi remaja yang sudah kokoh tauhidnya adalah buah dari tarbiyah sang Ibunda.
Sifat ikhlas yang tertancap kuat dalam diri nabi ismail adalah hasil dari pola asuh Siti Hajar sehingga anaknya tumbuhnya dengan akhlak dan akidah yang kokoh. Walau saat itu mereka berdua harus ditinggal nabi Ibrahim di gurun sahara yang tandus.
Siti Hajar juga mengajarkan kepada kita bahwa pendidikan berkarakter itu memang dibentuk dari dalam rumah. Dari orang tua terutama Ibu sebagai madrasatul ula. Jadi ,apapun peran atau amanah lain yang kita emban saat ini, jangan pernah lupa tugas mulia kita yang langsung diamanahkan oleh Allah, yaitu menjadi madrasatul ula bagi anak-anak kita.
Wallahualam..
Yang pasti bagi kami, Idul Adha sempurna mengajarkan tentang :
Ketaqwaan keluarga nabi Ibrahim.
Kesholehan seorang kepala rumah tangga.
Ketaatan seorang istri dan urgensitas peran seorang Ibu.
Serta kepatuhan dan kematangan akidah seorang anak.
Happy Ied mubarak dari negeri jiran...
8 Komentar
Aku kok malah galfok sama grafik kasus covid di KL mba kia, smoga Indonesia sgera mereda jga
BalasHapusGrafiknya naik sama kaya di indo juga. Kisah nabi ibrahim jadi teladan kita semua ya.
BalasHapusSemoga covid sudah ada vaksinnya ya mba, supaya th depan bisa merayakan Idul Qurban dg lebih hikmat dan yang berhaji bisa berangkat ke tanah suci tanpa ada kekhawatiran sedikit pun
BalasHapusMasya Allah Tabarakallah. Sungguh luar biasa. Banyak pelajaran dan hikmah yang bisa diambil. Semoga kita mampu meneladaninya. Aamiin
BalasHapusMasyaAllah, semoga kita semua bisa meneladani ketaqwaan keluarga Nabi Ibrahim. Aamin..
BalasHapusTerima kasih sharingnya mbaa, semoga covid segera berakhir, dan semoga kita bisa meneleedani nabi Ibrahim dan keluarga yaa
BalasHapusMasyaAllah... terima kasih sharingnya 💕
BalasHapusBanyak banget hal yang bisa dipelajari dari keluarga Nabi Ibrahim. Terima kasih sharingnya mba
BalasHapus