Terima Kasih Untuk Tidak Berhenti!


        Kutatap jurnal yang ada di hadapanku dengan seksama. Seolah tak percaya bahwa aku bisa melakukannya. Masih sangat terbayang di ingatan, bagaimana tahun lalu di awali dengan pandemi dan kebijakan lockdown di Negara Malaysia.

“Tak masalah, asalkan masih bisa bergerak secara fisik dan online,” tanggapanku saat itu.

Siapa sangka, baru hari pertama berdiam diri di rumah, justru Allah langsung berikan kejutan. Holla, laptopku rusak. Oke saat itu aku berusaha untuk menggunakannya walau terkadang kursornya bergerak sendiri, seolah menghindari jariku yang ingin menari di atas keyboard.

Laptop itu laptop kesayangan. Hadiah dari Ibu dan Ayah saat aku wisuda tahfiz tahun 2015. Membayangkan semua kenangan dengannya membuat diriku terlalu berat untuk melepaskan. Ingin memperbaikinya ke tempat perbaikan elektronik, tapi apa daya saat itu lockdown sedang ketat. Tak semua toko buka dan yang keluar rumah juga dibatasi. Dengan berat hati, akhirnya aku merelakannya pergi.

“Oke, aku masih bisa gunakan laptop Abi,” ujarku dalam hati.

Memangngnya apa sih gunanya laptop bagi emak-emak berdaster ini?. 
      Sejak pindah ke Malaysia, aku memang mulai menseriuskan literasi. Terutama dalam hal menulis buku. Kenapa? Karena hal itu yang aku suka dan bisa.

Aku memang tak punya kesempatan berdiri di atas mimbar seperti Ibu untuk sekedar memberi ceramah kepada jamaah. Bahkan langkahku juga mulai terbatas untuk mengampu mutarobbi-mutarobbiku dulu. Menjadi guru tahfizpun saat ini tak sebebas dulu. Disini juga tak ada Ibu-Ibu kompleks yang bisa sedikit kucuci otaknya untuk tidak menggunjing saat membeli sayur di tukang sayur keliing. Disini aku sendiri, duduk di tepian sungai chinchin tanpa bisa berbuat apa-apa. Ah masih teringat tawaran mengajar tahfiz beberapa hari lalu. Itu adalah tawaran yang ke sekian kalinya, yang mau tidak mau harus kutolak. Berapapun besarnya ringgit yang mampu mereka tawarkan.

Bagaimana tidak? Sebagai seorang Ibu dan Istri, mana mungkin aku bisa keluar setelah magrib untuk mengajar tahfiz. Atau tinggal di asrama bersama murid-murid. Bukan karena aku menolak peluang kebaikan, tapi aku tau, ranah kebaikan yang bisa kuambil memang tak lagi sama seperti dahulu.

“Oke aku akan menebar kebaikan melalui tulisan!” ujarku pada Abi saat itu. Tentu saja respon Abi sangat mendukung. Terlebih ia tau track recordku dulu di dunia kepenulisan. Bahkan tulisan ilmiah yang kukerjakan dalam waktu seminggu saja bisa membawaku ke Brunei dan Pakistan beberapa tahun lalu. Tentu ia sangat mendukung tekadku untuk kembali menulis.

Tapi sekarang apa? Lihatlah jalan yang kulalui untuk itu terlalu banyak rintangan.

“Yah, laptop Abi kok rusak juga bi?” kataku tak bisa menyembunyikan rasa kecewa pada keadaan.

Tentu saja aku dan suami sudah berusaha memperbaikinya sebatas pengetahuan kami tentang laptop. Bertanya ke teman-teman yang berpengalaman. Karena tetap saat itu tak ada tempat perbaiki laptop yang buka. Ya, Malaysia masih dalam kondisi lockdown ketat. Setelah berusaha menggunakannya di tengah kerusakan. Tepat bulan Ramadhan saat itu akhirnya kami mengikhlaskan dua laptop pergi untuk selamanya.

Kenapa aku? Kenapa sekarang? Dari miliyaran manusia di dunia ini, kenapa harus aku yang dikasih serba kekurangan alat. Padahal saat itu aku sedang semangat-semangatnya menulis. Bahkan buku solo pertamaku juga belum selesai. Inginku menyerah pada keadaan dan berhenti menulis karena tidak adanya alat untuk mengetik di rumah. Tapi, strong why ku dalam menulis menentang itu.

“WPS! Ya aku bisa gunakan WPS di handphone!” ucapku dengan penuh harap.

Akhirnya, sejak saat itu aku menggunakan aplikasi WPS di handphone androidku yang layarnya cukup minimalis. Ke lima jariku (yang terlihat sebesar jempol semua) mulai kubiasakan untuk mengetik di layar kecil. Mataku yang dulunya bahkan harus menggunakan kacamata juga mulai kubiasakan untuk melihat layar kecil. Saat itu aku memang belum tau hikmah kenapa Allah menempatkanku di situasi yang menurutku sulit. Tapi, aku tetap menggerakkan jariku untuk merangkai ribuan kata, walau effortku tentu harus lebih besar dari pada yang lain.

Aku mulai mengikuti banyak kelas kepenulisan. Mulai dari buku anak, dewasa, fiksi, non fiksi, komik bahkan juga kelas untuk para editor. Berbulan-bulan aku mulai terbiasa mengetik dengan handphone kecil. Bahkan, 1 bulan setelahnya ada jalan untukku mulai masuk ke dunia illustrator. Walau saat itu aku sempat insecure, terlebih melihat illustrator lain memiliki perangkat yang memadai. Ada yang menggunakan tab, ipad, Wacom, bahkan ada yang memiliki semua alat tersebut. Ketika mau gambar ya mereka tinggal pilih mau menggunakan alat yang mana.

Sedangkan aku? Yang kupunya hanya strong why kenapa aku masuk ke dunia illustrator serta jari yang sudah Allah amanahkan padaku, dan handphone android layar kecil yang harus selalu kusyukuri. Karena di luar sana masih banyak orang yang bahkan tidak mempunyai alat komunikasi.

Terhitung sejak maret, itu berarti 10 bulan aku menulis dan menggambar dengan menggunakan handphone. Siapa sangka hasilnya bisa sebanyak ini. Ada 45 naskah buku yang sudah aku tulis. Ada 24 buku yang sudah naik cetak. Bahkan 2 buku Soloku juga lahir di saat aku masih di dalam keterbatasan alat. Puluhan ilustrasi juga sudah lahir olehku yang masih sangat newbie dari para illustrator lainnya.

Kembali kutatap jurnal 2020 itu. Mengusapnya seolah tak percaya. Lihatlah apa yang bisa kulakukan dengan jari-jari ini?. Apakah ini hasil dari berkahnya handphone kecilku?. Atau karena berkahnya waktuku?. Apakah ini karena ridho suamiku?. Atau karena strong why pergerakanku?. Satu hal pasti yang kuyakini, ini semua karena Al-Quran yang selalu kudekap dan kulantunkan walau duniaku terasa sempit disini.

Jika aku menyerah pada keadaan saat itu. Yang mana sebenarnya aku yakin bahwa aku punya hak untuk menyerah. Mungkin puluhan buku itu hanya mimpi. Bergabung dengan para illustrator juga hanya angan-angan. Buku solo? Ah menulis antologi dengan handphone saja perjuangannya tak sedikit. Apalagi menulis buku solo ratusan halaman dengan android layar kecil itu?.

Tapi, ternyata keterbatasanku saat itu justru menjadi cambuk bagiku untuk selalu bersyukur. Bahwa Allah sudah ciptakan jari untuk digunakan. Ternyata kekurangan alatku sebagai penulis dan illustrator dari orang lain justru membuatku semakin tertantang. Semua kenangan bersusah payah tahun lalu justru menjadi cerita indah saat ini. Menjadi pelajaran untuk orang-orang yang selalu menjadikan keadaan sebagai alasan.

“Terima kasih untukku di 2020, terima kasih untuk tidak berhenti dalam keterbatasan!” ujarku dalam hati.

Pernah mendengar  pepatah “Bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian”. Nah itulah yang kurasakan saat ini. Susah payahku bersama hanphone kecil itu ternyata melahirkan banyak hal baik yang bisa kupetik. Saat ini aku tinggal menunggu semua buku naik cetak. Menunggu sambil terus berkarya melalui tulisan dan ilustrasi. Tentu saja tetap menjadi wafi azkia yang sulit sekali menolak menerima setoran hafalan Al-Quran secara online, walau harus berkejaran dengan waktu.

“Ah mie rebusku sudah matang,” ucapku sambil menutup jurnal 2020 itu. 

1 Komentar

  1. Masyaa Allah tabarakallah kak Wafi... siang ini mendengar kak Wafi bersemangat berbagi kisah bersama rinjing destock sudah terasa semangatnya.. terlebih membaca tulisan ini, diperkuat lagi dengan insight tentang berkah waktu karena Alqur'an. Terimakasih untuk tidak berhenti berbagi ya Kak Wafi..

    BalasHapus