Kita Bukan Sang Hakim

Zaman sekarang tidak susah untuk berbuat baik, akan tetapi yang susah adalah menjaga hati agar tetap tawaddu setelah berbuat baik. Zaman sekarang tidak susah untuk menjadi baik, yang susah adalah menjaga hati dan mulut agar tidak menghakimi orang yang kita anggab belum menjadi baik seperti kita.

Ini tentang hati..

"Tentang segumpal daging yang jika ia baik,maka seluruh anggota badan akan baik, dan sebaliknya jika ia buruk, maka buruklah seluruh anggota badannya...".
Ternyata bukan hanya dompet yang harus selalu diisi, bukan hanya perut yang harus dikasih makan, bukan hanya bunga yang harus selalu disiram. Hatipun seperti itu. Hati itu bisa kering, bisa kosong, dan bisa rusak jika tak sering kita benahi.

Tidak payah cari tau hati ini sudah rusak atau belum. Ketika lidah lebih mudah menghisab kesalahan orang lain dibanding kesalahan diri sendiri, ketika ayat suci tidak lagi membuat hati kita bergetar, ketika kesombongan merasa "sudah tau" sehingga nasehat tidak lagi kita dengar, ketika maksiat sudah menjadi tabiat, ketika hasad iri dengki selalu ditanam, ketika tidak ada rasa takut dengan enggan selalu rutin minta ampun. Ketika itulah hati kita sedang butuh disiram, sedang butuh diisi. Seringlah berkumpul dengan orang shaleh, jika belum bisa berkumpul, maka bisa dengan sering mendengarkan tausiah di youtube, instagram, juga dengan sering basahi lidah dengan zikir ringan ketika di jalan, kendaraan, ketika beraktifitas, menyapu, bekerja, dan aktifitas lainnya.

Itulah kenapa di dalam al-ma'tsurat pagi dan petang kita selalu membaca
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
Agar hati selalu dijaga dalam kebaikan.

Agar lidah tidak mudah untuk menjudge orang lain lebih rendah dari pada kita. Supaya diri tidak mudah ujub karena kebaikan yang sudah kita lakukan.
Zaman Sekarang mudah sekali kita kita menjudge "neraka" bagi mereka yang dipandang tidak sesuai dgn kita. Bagi mereka yang bergaya preman, berpakaian minimalis, berstatus di konvensional, mencuri dan berbagai profesi lainnya yang kita anggap tidak sesuai dengan kita, dan sering kali kita menjudge "syurga" bagi mereka yang kita anggap sholeh karena pakaian atau perkataan mereka. Padahal tidak ada jaminan neraka bagi si A dan tidak ada jaminan syurga bagi si B, kita tak pernah tahu kepada siapa hidayah itu Allah berikan, karena dosa apapun yang ia pernah lakukan selama itu bukan syirik maka Allah sendiri yang berjanji akan memberi ampunan, pun tidak ada jaminan hidayah itu akan tetap pada orang yang kita anggap ahli "syurga", karena bisa jadi, pakaian nya ahli syurga tapi mulut dan tangannya sering menyakiti saudaranya.

Tidak peduli seberapa banyak pahala yang ia tumpuk, tidak peduli sudah berapa banyak dosa yang telah ia lakukan, tetap kita bukanlah sang hakim yang bisa memvonis seseorang untuk menetap di syurga atau bermukim di aneraka. Kurangilah menilai orang hanya karena kita anggap dia tidak lebih sholeh dari kita, justru karena kesombongan kitalah derajat kita tak lebih tinggi daripada dia dimata Allah. Seringlah berkaca pada diri sendiri, intropeksi diri, supaya tidak ada lagi waktu untuk menilai orang lain.

Pernah mendengar hadist tentang seorang wanita pezina yang diampuni dosa nya oleh Allah karena ia memberi minum kepada anjing yang kehausan, hadist itu terdapat di kitab shohih nya imam bukhori.

Pernah mendengar kisah 2 orang bersaudara dari bani israil? Yang satu ahli ibadah sedangkan yang satu lagi sering berbuat dosa. Akan tetapi ahli ibadah justru Allah tempatkan ia di neraka karena ia menjudge saudara nya bahwa ia tidak akan diampuni oleh Allah karena sering berbuat dosa. Kisah ini tertuang di Hadist Shahih  Abu Dawud dan Ahmad.

Hikmah yang bisa kita ambil adalah manfaatkan seluruh peluang berbuat baik dizaman sekarang ini, tapi tetap serahkan hak peto Allah yang menilai. Karena kita akan dihisab dengan perbuatan kita. Bukan perbuatan orang lain.
Wallahualam..

#KURMA
#kurmamenulisramadan
#day3

0 Komentar